Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit

- November 12, 2017

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit

 
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari Nigeria. Walaupun demikian, ada yng menyatakan bahwasanya kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yakni Brazil lantaran lebih tidak sedikit didapati spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan yang dengannya Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, semisal Malaysia, Indonesia, Thailand, serta Papua Nugini. Malah bisa atau mampu memberikan hasil produksi per hektar yng lebih tinggi (Fauzi et al., 2002).
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1848. Disaat itu ada empat batang bibit kelapa sawit yng dibawa dari Mauritus serta Amsterdam serta ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan serta dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan Adrien Hallet, seorang Belgia yng sudah belajar tidak sedikit perihal kelapa sawit di Afrika. Budidaya yng dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yng menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) serta Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa (Fauzi et al., 2002)
Pada biasanya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3 tahun pertama disebut menjadi kelapa sawit muda, lantaran pada umur yang telah di sebutkan pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit akan mulai berbuah pada umur 4 hingga enam tahun, serta pada usia tujuh tahun disebut menjadi periode matang (the mature periode) dimana pada tatkala itu tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunch). Pada usia 11 hingga 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami penurunan produksi, serta umumnya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa sawit akan mati (Fauzi et al., 2002).
Seluruh komponen buah sawit bisa dimanfaatkan. Buah sawit mempunyai daging serta biji sawit (kernel), dimana daging sawit bisa diolah menjadi CPO (crude palm oil), sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (palm kernel). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu cangkang biji sawit bisa dimanfaatkan menjadi bahan bakar ketel uap (Fauzi et al., 2002).
Minyak sawit bisa dipergunakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk bahan makanan serta industri sesudah melalui proses penyulingan, penjernihan serta penghilangan bau ataupun RBDPO (refine, bleached and Deodorized palm oil). Disamping itu bisa diuraikan bagi atau bisa juga dikatakan untuk produksi minyak sawit padat (RBD stearin) serta bagi atau bisa juga dikatakan untuk produksi minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein lebih-lebih dipergunakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD stearin dipergunakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk margarin serta shortening, disamping bagi atau bisa juga dikatakan untuk bahan baku industri sabun serta deterjen. Pemisahan CPO serta PK bisa menghasilkan oleokimia dasar yng terdiri dari asam lemak serta gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit bisa menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % PFAD (Palm fatty Acid Distillate) serta 0,5 % buangan (Fauzi et al., 2002).
Proses pengolahan kelapa sawit menghasilkan produk ikutan berupa limbah kelapa sawit. Didasari tempat pembentukannya limbah kelapa sawit bisa digolongkan menjadi dua jenis yakni limbah perkebunan kelapa sawit serta limbah industri kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit merupakan limbah yng diperoleh pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yakni limbah padat, limbah cair, serta limbah gas (Fauzi et al., 2002).
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah satu dari sekian banyaknya jenis limbah padat yng diperoleh dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS ini cukup besar lantaran hampir percis yang dengannya jumlah produksi minyak sawit mentah. Limbah yang telah di sebutkan belum tidak sedikit dimanfaatkan secara optimal. Komponen terbesar dari TKKS merupakan selulosa (40-60 %), disamping komponen lain yng jumlahnya lebih kecil semisal hemiselulosa (20-30 %), serta lignin (15-30 %) (Dekker, 1991). Satu dari sekian banyaknya pengganti pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit merupakan menjadi pupuk organik yang dengannya melakukan pengomposan (Fauzi et al., 2002).
Pengomposan merupakan proses biologis dimana mikroorganisme mengkonversi material organik menjadi kompos. Pengomposan dinominasi oleh proses aerob ataupun proses yng butuh oksigen. Mikroorganisme memakai O2 bagi atau bisa juga dikatakan untuk memperoleh energi serta nutrisi dari material organik. Dalam proses yang telah di sebutkan orang-orang menghasilkan karbon dioksida (CO2), air, panas, kompos serta bermacam-macam gas menjadi produk dari dekomposisi material organik. Macam-macam transformasi biologis serta produk berlangsung dalam proses pengomposan. Di lakukan oleh macam-macam mikroorganisme, yng menghuni bermacam-macam lingkungan mikro. Walaupun mikroorganisme mendekomposisi beberapa material organik, orang-orang terus menciptakan senyawa organik baru dari produk hasil dekomposisi. Unsur semisal nitogen (N) serta sulfur (S) bergabung yang dengannya unsur lain, berganti secara cepat diantara bentuk terlarut serta tak terlarut. Bentuk unsur yng terlarut merupakan ditujukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk dipakai oleh mikrobia ataupun mungkin berlangsung pencucian. Proses kimia serta fisika yng lain pula berlangsung, memberi pengaruh porositas, kapasitas menahan air serta nutrisi, konduktivitas, pH, serta sifat lain yng barangkali berpengaruh baik dalam proses pengomposan ataupun potensi penggunaan dari produk hasil pengomposan (Stoffella serta Kahn, 2001).
Pengomposan merupakan proses aerob, yng berguna dalam prosesnya butuh udara. Malah udara barangkali lebih penting dari makanan bagi mikroorganisme, pada biasanya dalam tumpukan kompos, udara lebih dahulu habis daripada makanan. Andai tak terdapat cukup udara, dekomposisi berlangsung secara anaerob, yng adalah hal tidak baik bagi atau bisa juga dikatakan untuk dua alasan. Pertama, perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob, serta kedua, beberapa produknya, semisal ammonia serta hidrogen sulfida memicu bau busuk (Thompson K, 2007)
Oksigen disediakan pada material kompos melalui aerasi. Mekanisme aerasi bisa Amat efektif, akan tetapi tak sempurna. Dalam fakta, sebagian dari proses dekomposisi pula berlangsung secara anaerob (tanpa O2). Proses anaerob berperan pada keseluruhan dekomposisi dari material kompos. Akan tetapi, dekomposisi anaerob yng berlebihan tak dimau-kan selama pengomposan lantaran menghasilkan degradasi yng tak sempurna serta bau (Miller, 1993). Menyediakan kondisi aerasi yng baik meminimalkan bau yng berhubungan yang dengannya proses anaerob serta menyempurnakan dekomposisi dari produk degradasi anaerobik parsial semisal asam organik, yng bisa berperan pada fitotoksisitas disaat kompos dipakai (Stoffella serta Kahn, 2001).
Kondisi yng dianjurkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pengomposan
KondisiBatas yng layakBatas yng dianjurkan
Rasio C/N Kelembaban
Konsentrasi O2
Ukuran Partikel
pH
Temperatur
20/1 – 40/1 40 – 65 % 1
>5 %
3 – 13
5.5 – 9.0
43 – 66
25/1 – 30/1 50 – 60 %
jauh lebih besar dari 5 %
Bervariasi 2
6.5 – 80
54 – 60
1 Rekomendasi bagi atau bisa juga dikatakan untuk pengomposan cepat. Kondisi diluar batas yang telah di sebutkan bisa pula memberikan hasil yng baik
2 Bergantung pada material yng dipakai, ukuran tumpukan, serta keadaan lingkungan
(Rynk et al., 1992).
Dalam system pengomposan cepat (high-rate composting) yng diteliti oleh John R. Snell di Michigan State University, proses pengomposan di lakukan secara mekanis dalam rektor vertikal. Penelitiannya menunjukan bahwasanya limbah padat pada tanah memberikan hasil pengomposan paling baik disaat rasio C/N dalam reaktor berada dibawah kisaran 50/1, pH di dalam reaktor dipertahankan pada kisaran 5.5 – 8.0, yang dengannya kelembaban diantara 50 – 60%. inokulum mikrobia paling baik yng dipakai menjadi aktivator berasal dari kompos matang, jumlahnya antara 2 – 10% dari limbah padat yng dikomposkan. Kompos yng berada di dalam reaktor diaduk secara terus-menerus supaya mendapatkan udara yang dengannya baik. Udara ditiupkan ke dalam reaktor bagi atau bisa juga dikatakan untuk melindungi supply oksigen bagi mikroorganisme. Temperatur dikontrol bagi atau bisa juga dikatakan untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Professor Snell menjumpai bahwasanya proses pengomposan selesai disaat telah tak ada peningkatan temperatur yng signifikan, tak ada lagi kandungan nitrogen yng hilang, serta kompos tak menghasilkan bau yng menyengat (McKinney, 2004). System high-rate composting yang telah di sebutkan tak cocok andai diterapkan dalam skala intustri, lantaran biaya yng dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk proses pengomposan akan Amat besar.
Parameter psikokhemis bagi atau bisa juga dikatakan untuk kompos yng telah matang Amat bervariasi. Yng paling penting merupakan: pH (7.5 – 7.8); kelembaban (55 – 65%); kandungan residu kering (35 – 45%); kandungan abu (15 – 25%); total nitrogen ( 2 – 3%); kandungan ammonia (1.5 – 1.8%); kandungan nitrat (1 – 2%); total fosfor (2.5 – 3%); total potassium (1 – 1.2%); rasio C/N (20 – 30). Kandungan unsur mikro menjadi berikut: Cu (3–3.6), Zn (40–50), Co (0.05–0.1), Mn (40–45), serta Fe (100) (Neklyudov, A. D. et al., 2008).
Pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit yng di lakukan di sebagian besar industri sawit, hal pertama yng di lakukan merupakan pencacahan. TKKS dicacah berlebi dahulu menjadi serpihan-serpihan yang dengannya memakai mesin pencacah. Lantas bahan yng sudah dicacah ditumpuk memanjang yang dengannya ukuran lebar sekitar 2,5 meter serta tinggi 1 meter. Selama proses pengomposan tumpukan yang telah di sebutkan disiram yang dengannya limbah cair yng berasal dari pabrik kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit yang dengannya kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam bisa memproduksi 60 ton kompos dari 100 ton tandan kosong sawit yng diperoleh (Fauzi et al., 2002).
Proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 1,5 – 3 bulan. Kompos yng telah matang bisa dilihat dari ciri-ciri menjadi berikut:
  • Berlangsung perubahan warna menjadi coklat kehitaman
  • Suhu telah turun serta mendekati suhu pada awal proses pengomposan
  • Andai diremas, TKKS gampang dihancurkan ataupun gampang putus serat-seratnya
Pengamatan secara kimia ditunjukkan yang dengannya rasio C/N yng telah turun. Rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60. Sesudah proses pengomposan rasio C/N akan turun dibawah 25. Andaikan rasio C/N lebih tinggi dari 25 proses pengomposan belum sempurna. Pengomposan butuh dilanjutkan kembali menjadikan rasio C/N di bawah 25 (Isroi, 2008).
Satu dari sekian banyaknya parameter penting dalam mempercepat proses pengomposan merupakan ketersediaan O2. Pada system pengomposan, supply O2 dipenuhi melalui mekanisme aerasi. Sirkulasi udara pada system pengomposan butuh dipertahankan pada 10 serta 30 cf/hari/lb vs muatan awal dari limbah padat yng dikomposkan. Terlalu tidak banyak aerasi memicu kondisi anaerob berlangsung, memperlambat proses pengomposan. Terlalu tidak sedikit aeasi akan memicu kompos menjadi kering serta menghambat/menghentikan metabolisme. Kelembaban optimal pada kompos merupakan diantara 55% serta 69% (McKinney, 2004).
Hal penting yng butuh diketahui dalam setiap proses pengomposan merupakan selalu ada batas maksimal mengenai kecepatan proses pengomposan suatu material organik. Andai batas maksimal yang telah di sebutkan sudah dicapai, perlakuan apapun yng diberikan terhadap system kompos tak akan bisa mempercepat laju proses pengomposan. Sumber: http://akbar.blog.ugm.ac.id
Download
Laporan Kerja Lapangan: Teknik Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit di Perkebunan PT. Kresna Duta Agroindo SMART Grup
Rujukan
Direktorat Jendral Perkebunan. 2008. Statistika Perkebunan Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id/. Diakses tanggal 20 juni 2008
Fauzi, Y., Widiastuti, YE., Setyawibawa, I., serta Hartono, R. 2002. Kelapa Sawit, Budidaya, Pemanfaatan Hasil serta Limbah, Analisis serta Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta.
McKinney, Ross E. 2004. Environmental Pollution Control Microbiology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Neklyudov, A. D., Fedotov, G. N., serta Ivankin, A. N. 2008. Intensification of Composting Processes by Aerobic Microorganisms: A Review. Applied Biochemistry and Microbiology Vol. 44, No. 1.
Rynk, R.F., M. van de Kamp, Willson G.B., Singley, M.E., Richard, T.L., Kolega, J.J., Gouin, F.R., Laliberty, L.L., Kay, D., Murphy, D.W., Hoitink, H.A.J., serta Brinton, W.F. 1992. On-Farm Composting Handbook. Natural Resource, Agriculture, and Engineering Service (NRAES). Ithaca, New York.
Stoffella, Peter J serta Kahn, Brian A. 2001. Compost utilization in horticultural cropping systems. CRC Press LLC. Florida.
Thompson, K. 2007. COMPOST: The Natural Way to Make Food for Your Garden. DK Publishing. New York.


Sumber rujukan dan gambar : http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2013/04/pengomposan-tandan-kosong-kelapa-sawit.html.

Seputar Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit