Kelapa Sawit, Tanaman Surga Atau Neraka ? | Komoditas Kelapa Sawit

- November 09, 2017

Kelapa Sawit, Tanaman Surga Atau Neraka ? | Komoditas Kelapa Sawit

 
Dalam acara ILC yng mengupas tandas kasus gratifikasi Bupati Buol, secara tidak langsung kasus itu mengangkat isu negatif perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Acara talkshow yng dipandu Karni Ilyas itu - serta penulis menontonnya dari awal hingga akhir - terkejut mendengar aneka macam pendapat tokoh. Bahwasanya kelapa sawit sudah menjadi malapetaka bagi Rakyat Indonesia, bahwasanya warga atau juga bisa dikatakan masyarakat di sekeliling perkebunan cuma gigit jari, menjadi penonton di tanah leluhurnya sendiri. Bahwasanya pembukaan perkebunan sudah menghasilkan kerusakan hutan yng masif, bahwasanya kebun kelapa sawit seharusnya diberantas dari Bumi Indonesia…..
Anggota DPR bertubuh tambun, secara berapi-api mengujarkan, di kampungnya, di Pasaman, puluhan desa digusur oleh perusahaan perkebunan, warga atau juga bisa dikatakan masyarakat tercerabut dari sumber kehidupannya. Janji pengusaha bagi atau bisa juga dikatakan untuk memberikan 30 % lahan plasma kepada warga atau juga bisa dikatakan masyarakat sekitarnya hanyalah pepesan kosong belaka, tidak pernah ada realisasinya. Akbar Faisal dari Partai Hanura mendukung sinyalemen itu. Karni Ilyas sendiri menjadi jurnalis senior, meneteskan kebenciannya terhadap kebun kelapa sawit. Sedangkan Sujiwo Tejo menjadi budayawan, menyuarakan pendapat yng lebih menusuk: “Tidak semestinya Indonesia bangga dengan predikat pemasok minyak goreng dunia. Menciptakan lapangan kerja dengan merusak hutan. Seharusnya masyarakat lebih mengandalkan lapangan kerja dari pengembangan pariwisata, kesenian, menari, bermain musik……”
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertama kalinya saya melihat Sujiwo Tejo, diluar dugaan dangkal!
Penulis tidak tahu darimana orang-orang mendapatkan fakta-fakta itu. Apakah dari pemberitaan, dari isu-isu yng ditiupkan LSM, dari kerabat orang-orang, ataupun yang dengannya melihatnya secara langsung. Lantaran bagi saya sendiri yng mengelola 10 hektar kebun sawit eks-plasma, masalah yng dihadapi Amat jauh dari itu, walaupun pada akhirnya memicu permasalahan sejenis.
Yng pertama, seluruh perkebunan itu sudah melewati prosedur administrasi tertentu menyangkut perijinan, studi kelayakan serta segala hal yng dibutuhkan, yang dengannya Bupati menjadi pengambil kata putus. Bupati merupakan Kepala daerah sekalian Ketua Majelis Norma/Raja Norma. Siapa juga yng berani menentang Bupati jaman saat ini ini? Hampir seluruh perkebunan itu dibuka yang dengannya inisiatif pertama datang dari Bupati, yang dengannya maksud luhur memacu pertumbuhan ekonomi daerah sekalian membuka lapangan kerja bagi rakyatnya. Yang dengannya demikian andai terdapat bukti perkebunan sudah merambah Hutan Lindung ataupun menciptakan kesengsaraan di sedang warga atau juga bisa dikatakan masyarakat, maka Bupati serta perangkatnya bisa diseret menjadi terdakwa utama! Oleh: Add. Tengkubintang, petani, tinggal di Sumatera.
Yng kedua, perbandingan Kebun Inti serta Kebun Plasma merupakan 50 : 50. Setiap perkebunan berkewajiban mengalokasikan 1/2 dari kebun yng dibukanya bagi atau bisa juga dikatakan untuk warga atau juga bisa dikatakan masyarakat sekitarnya. Andai lahan yng dibuka itu sudah ada pemiliknya sebelumnya, maka petani secara langsung memperoleh haknya yang dengannya bukti surat peserta plasma. Akan tetapi bagaimana andai kebun yng hendak dibuka itu merupakan hutan belantara ataupun rawa-rawa tidak berpenghuni, sementara peraturan 50 : 50 mesti dijalankan? Bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyiasatinya, muncullah inisiatif merekayasa Desa Fiktif, KUD Fiktif, ribuan KTP fiktif. Kartu ciri peserta plasma ini nantinya akan dikuasai oleh oknum-oknum yng membuatnya, salah satunya oknum Kepala Desa, Oknum Tokoh Warga atau juga bisa dikatakan masyarakat, Oknum Pejabat, serta lain-lain. Surat-surat fiktif ini nantinya akan diperjualbelikan kepada warga atau juga bisa dikatakan masyarakat pendatang. (Ingat, seorang Haji dalam acara ILC disaat membahas kasus Mesuji, ia merupakan warga Palembang yng menguasai 400 hektar kebun plasma yng dipersengketakan). Saling tuding memperebutkan Kartu Plasma fiktif ini dia yng acap memlai pertikaian, lantas bermetamorfosis menjadi masalah besar di belakang hari. Bagi Kamu yng tak meyakini yang dengannya fakta ini silakan datang ke sekitar perkebunan, niscaya akan menjumpai surat-surat plasma ramai diperjualbelikan.
Kembali ke soal Kebun Plasma, tentu saja manajemen perkebunan membangunnya yang dengannya pinjaman dari bank. Konsekwensinya merupakan, pengelola kebun berkewajiban merawat kebun plasma itu sebagaimana kebun inti, sampai-sampai panen. Sesudah panen pun, petani plasma tetap tak diijinkan merawat serta memanennya, bagi atau bisa juga dikatakan untuk tertib administrasi. Petani plasma duduk manis saja di rumah, menunggu dikirimi 30 % dari hasil panen. Sedangkan yng 70 % dianggap menjadi biaya pemeliharaan sekalian pengembalian modal bank. Andai petani ingin langsung mengambil alih kebunnya, dipersilakan, yang dengannya perhitungan setiap batang kelapa sawit dihargai Rp. 1.800.000.- (saat ini ini). Andai tak, tunggulah hingga 13 tahun, hingga kewajiban bank selesai, lantas diserahkan utuh kepada petani.
Pada tahap ini mulai muncul beragam masalah. Petani plasma yng terasa mempunyai hak atas kebun, tak peduli yang dengannya turun-naiknya harga TBS kelapasawit ataupun panen yng menurun akibat cuaca ataupun fluktuasi musim, andai melihat rekeningnya di bank tak bertambah maka ia mulai protes. Lebih-lebih andai dikompori oleh LSM provokator, yang dengannya mengandalkan jumlah massa orang-orang ramai-ramai memasuki kebun sawit serta mulai memanen sendiri. Tentu saja akan timbul masalah yang dengannya manajemen perkebunan!
Yng ketiga, menyebut kelapa sawit menjadi tanaman perusak lingkungan. Penyebab kekeringan, rakus terhadap unsur hara tanah, serta sebagainya. Barangkali ada benarnya, tidak ada sesuatu pun bisa di lakukan tanpa efek samping. Akan tetapi butuh dicatat, bahwasanya daerah Pematang Siantar, Rantau Prapat, Kisaran, Ujungbatu, Pekanbaru serta Jambi merupakan daerah yang dengannya sentra-sentra kebun kelapa sawit sejak dahulu. Sampai-sampai kini tidak pernah terdengar daerah itu kekeringan, pula tak menjadi tandus. Malahan di Wonogiri serta Tengger yng tidak ada kelapa sawit setiap 12 bulan mengalami bencana kekeringan.
Yng keempat, keberadaan kebun kelapa sawit sangatlah berperan membangkitkan perekonomian warga atau juga bisa dikatakan masyarakat pedesaan. Kebun sawit merupakan arena padat karya. Tidak terhitung banyaknya warga warga atau juga bisa dikatakan masyarakat yng mencari penghidupan di perkebunan sawit, menjadi buruh ataupun menjadi pegawai. Bagi yng berkeinginan membuka kebun sendiri, secara plasma ataupun pun berdikari, tidak butuh khawatir lantaran hasil panen bisa dijual ke pabrik perkebunan. Tidak tidak banyak warga pedesaan yng berkesempatan naik haji yang dengannya mengandalkan penghasilan kebun sawitnya, cukup 4 hektar saja. Tentu, bagi petani yng gigih bekerja mensyukuri Nikmat Tuhan. Sedangkan petani yng tidak suka bertani, yng gemar bersolek, yng kerjanya cuma bergunjing serta menggerutu, maka baginya tidak ada penghasilan kecuali menunggu uluran tangan orang lain. Penting disadari, di desa-desa pun tidak tidak lebih banyaknya kita-kita yng potensial menjadi koruptor, gemar mengambil makanan dari piring orang lain!
Namun setiap bisnis pastilah ada tantangannya. Hidup ini tak semudah kelihatannya. Di aneka macam bidang ke hidup-an selalu ada kesulitan, tantangan, serta oknum-oknum tukang bikin gara-gara. Serta, sungguh, bertani itu tak gampang. Tidak ada petani gurem menjadi kaya-raya. Kalau bertani itu gampang, telah kaya raya Bangsa Indonesia itu sejak dahulu kala.
Pada akhirnya penulis hendak memastikan bahwasanya ketetapan Tanah Air Indonesia menjadi Negara Agraris merupakan Sabda Alam. Suka ataupun tidak suka, mau ataupun tidak mau. Pada tatkala saat ini kita bisa bermanja-manja menolak menjadi bangsa petani, bangga menjadi importir jagung, kedelai serta segala bahan pangan lain-lainnya. Namun pada titik tertentu kelak, warga atau juga bisa dikatakan masyarakat dunia akan menuntut Bangsa Indonesia memasok pangan bagi dunia. Andai tetap menolak, maka bangsa lain akan datang bagi atau bisa juga dikatakan untuk menggarapnya. Lantas akan berlangsung ‘tanam paksa’ jilid dua, dimana Bangsa Indonesia terpaksa menjadi babu di tanah airnya, ataupun terpaksa terjun ke laut serta berevolusi menjadi lumba-lumba….
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk Sujiwo Tejo, ia mampu beroleh nafkah yang dengannya mengelus-elus terompetnya. Akan tetapi bagi atau bisa juga dikatakan untuk kebanykan Warga atau juga bisa dikatakan masyarakat Indonesia, tergila-gila bermain musik merupakan sumber malapetaka. Andai kita lapar, kita tidak mampu mengandalkan terompet, lantaran terompet tidak mampu dimakan!

Sumber rujukan dan gambar : http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2012/11/kelapa-sawit-tanaman-surga-atau-neraka.html.

Seputar Kelapa Sawit, Tanaman Surga Atau Neraka ? | Komoditas Kelapa Sawit

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Kelapa Sawit, Tanaman Surga Atau Neraka ? | Komoditas Kelapa Sawit