Ekonomi Industri Kelapa Sawit | Komoditas Kelapa Sawit

- Oktober 25, 2017

Ekonomi Industri Kelapa Sawit | Komoditas Kelapa Sawit

 
Tanpa melebih-lebihkan, periode waktu sejak pergantian milenium layak disebutkan menjadi dasawarsa minyak sawit. Antara tahun 2000 serta 2010, produksinya naik menjadi dua kali lipat, sementara lahan yng ditanami sawit naik 7 kali lipat dari 1.1 juta ha menjadi 7.8 juta ha (Data Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011). Kebun sawit pertama kali ditanam pada 1960an di Indonesia. Pada 1980 produksi CPO menjadi 0.72 juta ton serta produksinya naik menjadi 2.41 juta ton pada tahun 1990 ataupun naik drastis hingga 7.0 juta ton pada 2000. Pada akhir 2011, produksi CPO di Indonesia telah mencapai 23.6 juta ton. Ini berguna telah sekitar 45 % dari produksi global, demikian hasil penelitian Slette serta Wiyono. Saat ini, 4.5 juta orang bekerja dalam produksi minyak sawit di Indonesia.
Mayoritas produksi minyak sawit dipakai oleh industri pangan. Minyak sawit secara global menjadi minyak yng terpenting. Hasil produksi minyak per hektar rata-rata menjadi lima kali lipat dibandingkan yang dengannya hasil produksi tanaman minyak yng lain. Dari produksi global yng mencapai 50 juta ton, 85 % berasal dari Malaysia serta Indonesia. Indonesia kebanykan mengekspor crude palm oil (CPO), sementara mayoritas ekspor dari Malaysia merupakan produk minyak sawit yng telah diolah. Produk-produk pangan yng memiliki kandungan minyak sawit merupakan peanut butter, lapisan kue (frosting/coating) serta kue. Minyak sawit pula dipakai pada produksi kosmetik serta bahan bakar nabati (biofuel).
Lantaran konsumsi pangan naik terus, khususnya di China serta India, penjualan minyak sawit tetap akan laris manis dalam dasawarsa yng akan datang. Hingga 2020, Indonesia merencanakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikkan produksinya dua kali lipat. Ada pula insentif moneter, supaya lebih tidak sedikit CPO diolah menjadi minyak sawit halus. Hingga saat ini, sekitar separuh dari produksi CPO di Indonesia diekspor tanpa diolah terlenih dahulu. Sisanya kebanykan diolah menjadi minyak goreng. Pendapat dari Studi Boucher, sekitar separuh dari itu diekspor, sementara yng lain-lainnya dikonsumsi dalam negeri.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencapai tujuan produksi itu, lahan yng ditanami sawit akan diperluas dari 7.9 juta ha (2010) menjadi 20 juta ha (2020). Akibatnya, tekanan kepada daerah hutan akan naik. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencegah konversi hutan lindung menjadi kebun sawit, pada 2011 lantas pemerintah mengeluarkan moratorium yang dengannya masa berlaku dua tahun, supaya tak diberikan izin bagi atau bisa juga dikatakan untuk konversi hutan yng layak dilindungi. Pendapat dari para LSM, moratorium tak akan tidak sedikit berpengaruh lantaran tiga perempat dari luas lahan yng dilindungi oleh moratorium yang telah di sebutkan telah dilindungi oleh peraturan-peraturan yng lain. Belum diketahui pula, apakah moratorium yang telah di sebutkan akan diperpanjang seusai 2013.
Penghasilan moneter dari ekspor CPO serta derivatnya per tahun mencapai lebih dari US$ 12 miliar. Lantaran telah lama membudidayakan sawit, Indonesia mempunyai tidak sedikit pengalaman mengenai untung-ruginya model-model usaha yng berbeda menyangkut pembagian hasil serta akibatnya pada penggunaan lahan. Namun, rencana perluasan lahan sawit di Indonesia pula memicu kekhawatiran mengenai akibat sosial, ekonomi serta ekologi yng tak dimau-kan.
Beberapa tahun yng lantas, sektor sawit diharapkan akan memenuhi kebutuhan energi Indonesia lewat produksi bahan bakar nabati dari CPO. Akan tetapi harapan itu menjadi sia-sia. Pendapat dari Slette serta Wiyono, sektor bahan bakar nabati berkembang lamban, semisal diindikasikan oleh angka pertumbuhan yng rendah antara 2006 serta 2011. Sementara sektornya mulai berkembang, tetap saja cuma sekitar lima % dari produksi CPO dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk bahan bakar nabati. Jumlah bahan bakar nabati yng diproduksi tumbuh dari 24 juta liter pada 2006 menjadi sekitar 650 juta liter pada 2011.
Sebagian dari bahan bakar nabati yng diekspor jumlahnya cenderung naik. Akan tetapi, pemakaian kapasitas kilang minyak cuma 17 % pada 2011. Maka, ekspansi sektor bahan bakar nabati tak akan membayakan produksi pangan yng berbasis CPO di masa mendatang (Pacheco, 2012). Paling tidak banyak, bagi atau bisa juga dikatakan untuk Eropa, bahan bakar nabati dari CPO tak mempunyai prospek. Mulai 2018, cuma bahan bakar nabati yng menghemat lebih dari 60 % emisi gas rumah kaca diizinkan di Eropa. Pendapat dari data Prof. Alois Heißenhuber dari Universitas Munich, bahan bakar nabati dari CPO menghemat 56 % serta nilai itu pula cuma bisa dicapai kalau gas metan dari proses pembakaran diikatkan. Bahan bakar nabati yng melebihi 60 % penghematan emisi gas rumah kaca bisa diproses dari tanaman berikut ini: etanol dari batang terigu ataupun dari tebu dan kayu HTI yng diproses.
Suka kali, warga atau juga bisa dikatakan masyarakat lokal tak menolak pengembangan kebun sawit, namun menuntut pembagian hasil yng adil serta ingin mempertahankan haknya atas lahan yng umumnya diakui kepemilikannya dalam hukum norma setempat.
HAMBURG, Jaringnews.com – Pada pertengahan dekade 1990an, tidak sedikit lahan belukar serta hutan karet di dataran rendah pulau Sumatera mulai dikonversikan menjadi perkebunan sawit. Perkebunan yng mengikutsertakan petani setempat, yakni pola PIR, dikembankan atas inisiatif pemerintah serta menyertakan bantuan Bank Dunia. Pada pola yang telah di sebutkan, lahan sawit bagi atau bisa juga dikatakan untuk warga atau juga bisa dikatakan masyarakat setempat dipersiapkan oleh pengembang swasta. Seusai tiga ataupun empat tahun, pengelolaan dilimpahkan kepada para petani yng mulai mengelola kebunnya di bawah supervisi pengembang. Perusahaan yang telah di sebutkan membeli tandan-tandan buah sawit matang dari para petani.
System PIR bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertama kalinya dikembangkan di Malaysia pada 1970an serta mulai dikembangkan di Indonesia dalam program transmigrasi. PIR pertama kali diterapkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk tanaman karet yng diikuti tanaman sawit pada 1980an. System itu dikembangkan lagi menjadi “Koperasi Kredit Primer untuk Anggota” (KKPA), dimana para transmigran berhak mendapatkan kredit bank yng disubsidi. Struktur KKPA mirip yang dengannya struktur pola PIR yng mencakup kemitraan antara perusahaan serta para petani.
Umumnya, pola KKPA memakai kontrak yng ditandatangani perusahaan, petani yng bergabung dalam koperasi dan bank-bank dalam pengawasan pemerintah. Para petani menyerahkan lahannya ke perusahaan yng menanam, mengelola serta memanen hasil tanamannya. Lantas, pola PIR pula dipakai di daerah non-transmigran, yakni penduduk asli. Di daerah perladangan yang dengannya daerah belukar serta hutan karet semisal di Kalimantan Barat serta Jambi, mulai dikembangkan PIR sekitar 1990an. Umumnya, penduduk telah pernah mengetahui pola PIR dari desa-desa trans di sekitarnya. Secara teoretis, perkebunan sawit pula membuka lapangan kerja bagi atau bisa juga dikatakan untuk petani yng tak mempunyai lahan sawit sendiri. Pendapat dari hasil studi Barber, petani cenderung lebih suka mencari pekerjaan lain lantaran gaji di kebun sawit terlalu rendah.
Masing-masing keluarga dari desa warga atau juga bisa dikatakan masyarakat penduduk asli yng akan diikutsertakan dalam pola PIR dituntut bagi atau bisa juga dikatakan untuk memberikan tujuh hektar lahan belukar ataupun hutan karet menjadi kontribusinya. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk tujuan itu, para kepala desa didatangi oleh pejabat Dinas Perkebunan yng menuntut supaya lahan tidur dari desanya diserahkan kepada pengembang perkebunan. Menjadi gantinya, setiap keluarga mendapatkan dua hektar lahan milik yng ditanami sawit. Uang kredit yng dibutuhkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk biaya persiapan lahan, bibit, pupuk serta pestisida dipotong dari hasil panennya kelak. Pemerintah daerah ikut dalam proses menjadi fasilitator antara para pihak terkait serta menjadi instansi yng mengeluarkan sertifikat tanah. Bank pun menahan sertifikat lahan hingga hutang para petani dilunasi. Pendapat dari peneliti Laurène Feintrenie dari Center for International Forest Research (CIFOR) Bogor, seluruh layanan yang telah di sebutkan di kenai biaya yng ditambahkan pada hutang petani.Pada 1990an, hutang petani bagi atau bisa juga dikatakan untuk dua hektar lahan sawit yng Perlu dikembalikan kepada perusahaan sawit menjadi 9.4 juta rupiah ditambah yang dengannya bunga sebanyk 11 % per tahun sebelum pohon sawit mulai membawa hasil dan 14 % bunga seusai mulai panen. Selama 10 tahun, petani akan dipotong 30 % dari hasil nya bagi atau bisa juga dikatakan untuk layanan kredit, dan 20 % bagi atau bisa juga dikatakan untuk ongkos replanting. Seusai kreditnya lunas, ongkos bagi atau bisa juga dikatakan untuk layanan replanting tetap dikenakan kepada petani. Kalau seluruh berjalan semisal dimau-kan, mungkin besar para petani akan bertambah makmur yang dengannya kepemilikan lahan sawit. Akan tetapi, pengembalian hutang dari pola PIR butuh waktu yng cukup lama serta hal itu menjadi beban berat bagi petani. Pendapat dari Greenpeace Indonesia, hal itu dicerminkan secara tragis waktu harga CPO di pasar internasional turun drastis pada 2008. Informasi media massa tidak sedikit diwarnai oleh petani sawit yng bunuh diri lantaran utang yng makin melilit.
Di sayangkan, petani dalam posisi tawar-menawar yng lemah lantaran kekurangan berita. Hal itu cenderung disalahgunakan oleh pengembang. Pendapat dari kakulasi ekonomis oleh Kepala Research Domain on Globalised Trade and Investment di CIFOR, Pablo Pacheco, perusahaan sawit meminta biaya yng terlalu tinggi dari para petani dibandingkan yang dengannya layanan yng diberikan kepad orang-orang. KUD pula tak bisa atau mampu membantu para petani. Permasalahannya, berita yng orang-orang punyai percis persis yang dengannya apa yng diketahui petani. Lantaran pengembang perkebunan mempunyai dukungan politis yng kuat, usaha-usaha KUD bagi atau bisa juga dikatakan untuk memperbaiki posisi tawar-menawar petani ataupun bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendapatkan berita lebih terperinci mengenai hak serta tanggung-jawab kedua belah pihak diberhentikan di tingkat administrasi yng lebih tinggi.
Implikasi Sosio-ekonomis serta Ekologis
Prospek bahan bakar nabati serta rencana perluasan kebun sawit diperdebat secara kontroversial di Indonesia. Satu pihak menilai minyak sawit dipandang menjadi barang dagangan yng mempunyai peranan penting bagi atau bisa juga dikatakan untuk menahan perubahan iklim, menyediakan sumber energi aternatif serta memberikan kontribusi kepada perkembangan ekonomis dan mata penceharian di pedesaan. Di pihak lain, muncul kekhawatiran ihwal pengaruh sosial, ekonomis serta ekologis yng tak dimau-kan.
Pendapat dari Pablo Pacheco, pelaksanaan dalam pengembangan kebun sawit kebanykan bergantung dari kebijakan perusahaan, pemerintah daerah serta kapasitas sosial dari kelompok petani dan warga atau juga bisa dikatakan masyarakat yng terlibat dalam produksi. Suka kali, warga atau juga bisa dikatakan masyarakat lokal tak menolak pengembangan kebun sawit, namun menuntut pembagian hasil yng adil serta ingin mempertahankan haknya atas lahan yng umumnya diakui kepemilikannya dalam hukum norma setempat.
Pendapat dari penelitian Prof Dr. Daniel Mudiyarso dari CIFOR, akibat ekologis dari perluasan kebun sawit merupakan deforestasi yng luas, khususnya di daerah rawa serta emisi karbon yng tinggi. Kekhwatiran saat ini merupakan bahwasanya lahan belukar tua yng pula mempunyai keanekaragaman hayati tinggi akan dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan kebun sawit. Soalnya, daerah hutan sekunder itu tak dilindungi oleh Moratorium Konversi Hutan serta kategori-kategori lahan lain telah mulai menjadi jarang.
Mekanisme Ramah Lingkungan
Pada 2004 lantas World Wildlife Fund bersama yang dengannya utusan-utusan industri, menginisialisasikan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menjadi reaksi pada tekanan para pembeli dari negara industri. RSPO yng dipimpin oleh produsen minyak sawit berkomitmen pada pola produksi yng lestari. Anggota RSPO serta peserta lain-lainnya mempunyai latar belakang yng berbeda, salah satunya perusahaan kebun sawit, pengelola serta pedagang produk minyak sawit, LSM lingkungan serta sosial. Seluruh berasal dari negara yng memproduksi serta memakai minyak sawit.
RSPO menciptakan pola sertifikasi bagi atau bisa juga dikatakan untuk produksi minyak sawit yng ramah lingkungan. Organisasi yng berbasis di Swiss itu mendefinisikan kriteria mulai dari metode kultivasi pohon sawit sampai-sampai ke isu hak buruh. Hingga saat ini, cuma sekitar 10 % dari produksi global sesuai yang dengannya standard RSPO. Pendapat dari data RSPO, pada bulan februari 2012, lebih dari 1,336,910 hektar kebun sawit telah tersertifikasi. 5,704,342 juta ton CPO serta 1,324,981 juta ton CSPK (Certified Sustainable Palm Kernel Oil) diterima bagi atau bisa juga dikatakan untuk sertifikasi. Indonesia, mengembangkan system sertifikasi sendiri yng bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Beberapa analis mempertanyakan sejauh mana produksi RSPO akan diperluas. Permasalahannya, di negara konsumen terpenting, semisal China serta India, kelestarian tidak lebih dianggap krusial, demikian hasil studi oleh Rabobank. Akan tetapi sebagian dari industri mempunyai tujuan yng ambisius: Cargill Tropical Palm Holdings di Singapura ingin supaya disertifikasikan seluruh produknya hingga 2020 yang dengannya label RSPO. Dr. Silvia Werner


Sumber rujukan dan gambar : http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2013/03/ekonomi-industri-kelapa-sawit.html.

Seputar Ekonomi Industri Kelapa Sawit | Komoditas Kelapa Sawit

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Ekonomi Industri Kelapa Sawit | Komoditas Kelapa Sawit