Uu Perkebunan Berpotensi Timbulkan Masalah Sosial Dan Lingkungan

- Oktober 15, 2017

Uu Perkebunan Berpotensi Timbulkan Masalah Sosial Dan Lingkungan

 
Koalisi warga atau juga bisa dikatakan masyarakat sipil mengkritisi UU Nomor 39 tahun 2014 ihwal Perkebunan lantaran dinilai tidak mencerminkan aspek keadilan yng cuma menguntungkan investor besar dan mengancam lingkungan. Petani kecil dan warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat bakal semakin terpinggirkan.
“Kami berharap UU ini bisa mengatur persoalan sosial dan lingkungan dalam aktivitas perkebunan besar. Ada solusi alternatif terkait konflik agraria baik dengan masyarakat adat, buruh perkebunan dan lingkungan. Tetapi UU ini tidak memberikan solusi. Justru akan timbulkan masalah baru ke depan,” kata Marsuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), di Jakarta, Selasa (17/2/15).
Dia mencontohkan, soal ketentuan pelaku bisnis perkebunan. Defenisi pelaku bisnis merupakan perusahaan dan petani. Akan tetapi, dalam konteks pelaksanaan dan perlindungan negara, cenderung berpihak perkebunan besar. “Padahal, petani disebutkan sebagai pelaku usaha perkebunan.”“Sejak muncul perkebunan sawit timbulkan banyak masalah dipicu perusahaan besar. Masalah bukan di petani, tapi perusahaan besar.”
Darto mengujarkan, visi Presiden Joko Widodo, soal ekonomi kerakyatan berguna peran koperasi diperkuat. Di sayangkan, sejak skema kemitraan muncul 1980an, koperasi semisal dimutilasi negara.“Koperasi dibiarkan berdiri dan diatur negara tetapi dikunci, dikontrol pendanaan dan pengembangan. Dana tidak diberikan agar bisa mandiri. Akses bibit, pupuk dan sarana produksi lain dibatasi. Hingga ekonomi kerakyatan itu cenderung kabur,” ujarnya.
Ada skema pendanaan bagi atau bisa juga dikatakan untuk petani kecil. Pemerintah memberikan subsidi bunga dari APBN, kebijakan ini berjalan selama 10 tahun. “Ini untuk pembangunan perkebunan rakyat. Anehnya, subsidi bunga itu tidak langsung kepada koperasi atau kelompok tani. Tapi diberikan kepada perusahaan besar,” ujarnya.
Pendanaan petani kecil, ujarnya, wajib melalui perusahaan besar dalam skema kemitraan. Sampai-sampai membuat koperasi dan petani kecil susah berkembang.
Dia berharap, melalui UU Perkebunan, pemerintah mampu merevisi ulang tata kelola perkebunan berkelanjutan, berkeadilan, berkedaulatan dan berkerakyatan baik aspek lingkungan dan hak asasi kita-kita. “Skema perkebunan sawit berkelanjutan tidak tegas diatur.”
Kemitraan, masih belum bisa atau mampu memposisikan petani sejajar yang dengannya perusahaan dalam pengelolaan bisnis. Padahal, kemitraan selama ini Amat tak adil sampai-sampai memicu konflik.
Dede Shineba, Departemen Politik dan Jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengujarkan, pengesahan UU ini gokil. Sebelumnya, beberapa materi UU pernah uji materil di Mahkamah Konstitusi (MK) 2011. Lantas diterapkan kembali.
“Dulu banyak sekali warga ditangkap hanya gara-gara bawa parang ke kebun. Atau masuk kebun yang masih konflik.” Seusai uji materil dikabulkan, DPR revisi UU ini yang dengannya memasukkan kembali item-item kriminalisasi.
“Kami menduga ke depan, tentu banyak konflik, pelanggaran HAM dan perampasan tanah. Itu makin masif.”
Kini, luas perkebunan sawit di Indonesia, mencapai 13.297.759 hektar. Produktivitas minyak sawit (crude palm oil/CPO) mencapai lebih 21 juta ton. Sekalian menempatkan Indonesia menjadi negara pengekspor sawit terbesar dunia.
“Ada mengatur musyawarah masyarakat adat. Padahal, musyawarah masyarakat adat itu tidak ada aturan,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jefri Saragih.
Di daerah tidak sedikit sawit, posisi dan pengaruh tokoh Amat lebih banyak didominasi. Kepala desa, tokoh agama dan ketua istiadat paling Suka didekati perusahaan. “Biasa kalau sudah ada musyawarah, kelompok ini yang dominan. Masyarakat kebanyakan menolak sawit, itu hampir tak terdengar sama sekali. Pro dan kontra cenderung mengakibatkan konflik masyarakat,” ujarnya.
Kuburan milik keluarga Tarang di sedang jalan milik perkebunan PT. Mustika Sembuluh. Yang dengannya UU Perkebunan baru, potensi konflik dan perampasan hak-hak warga atau juga bisa dikatakan masyarakat atas nama izin perusahaan besar, semakin tinggi. Foto: Walhi Kalteng
Permasalahan lain ada ihwal warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat yng Perlu ditetapkan didasari UU. Sementara di Indonesia, baru warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat Baduy di Banten yng memperoleh pengakuan. Warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat di Kalimantan, Papua dan wilayah lain belum ada pengakuan legal pemerintah.
Gunawan dari Indonesian Humam Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengujarkan, UU Perkebunan gagal menyelesaikan urusan konflik dan reforma agraria. “Kalau dulu nenek moyang mereka sebagai buruh tani era kolonialisme, status keturunan juga masih buruh tani.”
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, andai pemerintah mengakui warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat, Perlu mendapatkan tata tips musyawarah di warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat. UU ini, semakin menegaskan watak tak mengakui warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat. Ini terlihat dalam kalimat, warga atau juga bisa dikatakan masyarakat istiadat ditetapkan melalui aturan perundang-undangan.
“Konteks konstitusi sudah jelas perbedaan antara pengakuan dan penetapan. Pengakuan berarti masyarakat ada dan pemerintah mengakui. Kalau ditetapkan berarti masyarakat adat daftar dulu baru ditetapkan,” ujarnya. Yng berlangsung dalam konflik agraria, pemerintah daerah tak menetapkan sampai-sampai hak istiadat orang-orang dilanggar.
Ancam lingkungan
Annisa Rahmawati, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengujarkan, ada tiga pasal menyinggung keberlanjutan lingkungan.
“Dalam Pasal 2 dan 3, memperhatikan keberlanjutan dan fungsi lingkungam hidup. Lantas, Pasal 32, ada kewajiban mengikuti aturan mendukung keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Ayat dua mensyaratkan, pelaku perkebunan memperoleh tips mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Akan tetapi, ujarnya, UU ini ancaman besar, lebih-lebih mengamankan konsesi perkebunan berharga konservasi dan berstok karbon tinggi.
Dalam Pasal 16-17, ada kewajiban perusahaan mengusahakan lahan perkebunan tiga tahun pertama paling tidak banyak 30%. Andaikan tak akan kena sanksi administratif berupa denda, penghentian sementara sampai-sampai pencabutan izin.
“Ini dilema bagi perusahaan yng berkomitmen melindungi hutan. Lantaran tak didukung regulasi. Andai tak diusahakan, dicabut izin. Ini ketakutan luar biasa dari perusahaan.”
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, kata Annisa, aturan lahan tidur Perlu direvisi ataupun paling tak ada peraturan yng melegalkan. Sampai-sampai tak membuat ketakutan industri bagi atau bisa juga dikatakan untuk proteksi lahan berharga konservasi dan berkarbon tinggi.

Sumber rujukan dan gambar : http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2015/02/uu-perkebunan-berpotensi-timbulkan.html.

Seputar Uu Perkebunan Berpotensi Timbulkan Masalah Sosial Dan Lingkungan

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Uu Perkebunan Berpotensi Timbulkan Masalah Sosial Dan Lingkungan