Perkebunan Kelapa Sawit Membuat Pembalakan Liar Di Indonesia

- Agustus 01, 2017

Perkebunan Kelapa Sawit Membuat Pembalakan Liar Di Indonesia

 
Jakarta (ANTARA News) - Agen Investigasi Lingkungan Hidup ataupun "Environmental Investigation Agency" (EIA) membuat laporan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dengannya dibukanya hutan sudah mendorong pembalakan liar di Indonesia.
Dalam kurun 20 tahun, antara tahun 1990 hingga 2010, wilayah perkebunan kelapa sawit tumbuh 7 kali lipat, dari 1,1 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar.
Walaupun ada aneka macam analisis terkait tingkat deforestasi yng diakibatkan oleh ekspansi yang telah di sebutkan, seluruh analisis yang telah di sebutkan
menegaskan bahwasanya kelapa sawit memainkan peran penting dalam perusakan hutan.
Sebuah studi yng diterbitkan tahun ini memperkirakan bahwasanya antara tahun 2000--2010, Indonesia sudah kehilangan setidaknya 1,6 juta hektar hutan yng diubah menjadi konsesi kelapa sawit.
Sebagian besar dari hutan yang telah di sebutkan berlokasi di Kalimantan yng mencakup wilayah seluas sekitar 1,1 juta hektar.
Analisis lain yng didapati merupakan antara 1990--2005, lebih dari 50 % ekspansi kelapa sawit di Indonesia berlangsung yang dengannya memakan wilayah hutan alam.
Suatu analisa pada tahun 2013 menjumpai bahwasanya dalam jangka waktu dua tahun hingga yang dengannya tahun 2011, kelapa sawit adalah satu-satunya pendorong utama deforestasi di negara ini.
Selama periode ini, Indonesia mengalahkan Brazil menjadi negara yang dengannya tingkat deforestasi tahunan tertinggi serta, menjadi dampak langsungnya, menjadi kontributor tertinggi ketiga terhadap perubahan iklim yng didorong oleh kegiatan kita-kita.
Yang dengannya mempergunakan data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), EIA sudah melakukan penghitungan konservatif didasari angka rata-rata sebesar 32,5 meter kubik kayu komersial per hektar di hutan-hutan yng ditargetkan oleh perkebunan kelapa sawit.
Andai perhitungan ini diterapkan terhadap perhitungan yng sama-sama konservatif mengenai kehilangan hutan, maka akan
terlihat bahwasanya pembukaan lahan oleh industri kelapa sawit sudah menghasilkan setidaknya 52 juta meter kubik kayu antara tahun 2000--2010.
Akan tetapi, selama periode yng percis, laporan tahunan Kemenhut cuma mencatat 39 juta meter kubik kayu dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), perizinan yng mengatur kayu yng dipanen pada tatkala konversi hutan.
Terdapat kesenjangan yng jauh melebihi perkiran angka 13 juta meter kubik yang telah di sebutkan, lantaran angka IPK dari Kemenhut selama periode ini pula meliputi wilayah hutan alam yng dibuka bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendirikan konsesi kayu HTI serta pertambangan.
Defisit pada angka yang telah di sebutkan mungkin berlangsung lantaran beberapa alasan.
Kemenhut tak mengumpulkan data kayu dari tempat-tempat dimana kayu yang telah di sebutkan diproduksi, akan tetapi didasari laporan dari pabrik penggergajian terkait sumber kayu yng dipakai.
Selain itu, hingga yang dengannya tahun 2010, Kemenhut cuma mengumpulkan data dari pabrik penggergajian besar yng mempunyai perizinan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memproses lebih dari 6.000 meter kubik per tahunnya.
Penelitian yng di lakukan oleh EIA sudah menunjukan bahwasanya sejumlah besar kayu diproses oleh pabrik penggergajian kecil serta menengah yng beroperasi didasari izin lokal serta tak terekam dalam angka IPK yng diterbitkan Kemenhut.
Kalimantan Sedang
Investigasi yng di lakukan EIA di Kalimantan Sedang mengungkapkan adanya kaitan antara pengembangan perkebunan kelapa sawit ilegal yang dengannya pejabat daerah.
Dalam laporan "Kejahatan Perijinan: Bagaimana Ekspansi Kelapa Sawit Mendorong Pembalakan Liar Di Indonesia" yng diterbitkan Desember 2014 itu, EIA mencatat adanya dugaan beberapa perusahaan sawit yng bersekongkol yang dengannya pejabat daerah dalam mempercepat perizinan.
Laporan yang telah di sebutkan menyatakan hampir seluruh perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari System Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Padahal, kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010.
Akan tetapi hal itu tak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.
Malah, satu dari sekian banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit "cukup" membayar Rp400 juta ataupun senilai 45.000 dolar Amerika Serikat bagi atau bisa juga dikatakan untuk "menyelesaikan masalah".
Rekomendasi
Laporan EIA memberikan beberapa rekomendasi antara lain:
1. Kementerian Lingkungan Hidup serta Kehutanan Perlu segera memerintahkan audit SVLK pada seluruh pemegang Izin Pemanfaatan Kayu ( IPK ), serta mencabut izin perusahaan yng menolak melakukannya.
2. Kementerian Lingkungan Hidup serta Kehutanan Perlu memastikan penghentian pembukaan lahan di seluruh konsesi sawit yng tak mematuhi standar legalitas dalam SVLK, menyita kayu yng diperoleh, serta mengawali proses hukum.
3. Pemerintah Indonesia Perlu membentuk satuan tugas yng terdiri dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan serta Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Kementerian Lingkungan Hidup serta Kehutanan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memeriksa serta mengadili korupsi terkait alokasi izin, dimulai yang dengannya kasus-kasus yng disebutkan dalam laporan yang telah di sebutkan. Seluruh temuan dari satuan tugas Perlu dipublikasikan secara transparan.
4. Pemerintah Indonesia Perlu memastikan standard SVLK direvisi bagi atau bisa juga dikatakan untuk memandatkan serta memandu pemeriksaan korupsi serta pelanggaran hukum lain-lainnya terkait alokasi izin serta pembebasan lahan.
5. Pemerintah Indonesia serta Uni Eropa Perlu memastikan bahwasanya pemberlakuan lisensi Tata Kelola serta Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance and Trade ataupun FLEGT) di bawah Kemufakatan Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement ataupun VPA Indonesia-Uni Eropa sebelum sertifikasi SVLK penuh bagi pemegang IPK tak membiarkan terus berlangsungnya penebangan di perkebunan sawit ilegal di negara ini.
Importir kayu Uni Eropa Perlu melakukan uji tuntas yng menyeluruh terhadap kayu bersertifikat SVLK bagi atau bisa juga dikatakan untuk memastikan kayu yang telah di sebutkan tak berasal dari konversi hutan yng ilegal serta tak bersertifikat, hingga lisensi FLEGT diberlakukan serta menghilang-kan kewajiban hukum ini.
6. Roundtable on Sustainable Palm Oil yng adalah suatu skema sertifikasi pasar sukarela yng mensyaratkan perkebunan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghindari konversi hutan primer serta wilayah yng mempunyai High Conservation Value (HCV) serta System Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dikembangkan oleh Kementerian Pertanian Indonesia bagi atau bisa juga dikatakan untuk memberikan jaminan “keberlanjutan” terhadap pasar-pasar sensitif Perlu menyertakan sertifikasi SVLK menjadi indikator kepatuhan hukum bagi pemegang IPK dalam standard sertifikasi orang-orang sendiri.
7. Pemerintah Indonesia Perlu berhenti mengalokasikan hutan bagi atau bisa juga dikatakan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Editor: Ella SyafputriCOPYRIGHT © ANTARA 2015

Sumber rujukan dan gambar : http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2015/02/perkebunan-kelapa-sawit-memicu.html.

Seputar Perkebunan Kelapa Sawit Membuat Pembalakan Liar Di Indonesia

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Perkebunan Kelapa Sawit Membuat Pembalakan Liar Di Indonesia