Kerugian Potensial Industri Sawit Hingga Rp 127 Triliun

- Juli 07, 2017

Kerugian Potensial Industri Sawit Hingga Rp 127 Triliun

 
Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwasanya penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer serta lahan gambut membuat tak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar ataupun setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium yang telah di sebutkan diberlakukan pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011.
Juru bicara Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan yang telah di sebutkan yang dengannya asumsi perolehan devisa ekspor yng tak maksimal lantaran tak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yng ditimbulkan yang dengannya adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).
Kebijakan moratorium yang telah di sebutkan keluar tatkala pemerintahan SBY serta akan berakhir pada Mei 2015, sampai-sampai tatkala ini belum terang apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 perihal Penundaan Pemberian Izin Baru serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer serta Lahan Gambut serta berlaku hingga Mei 2013. Peraturan itu kembali diperpanjang dua tahun ataupun hingga Mei 2015 melalui Inpres No 6 Tahun 2013.
Pendapat dari Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu cuma mampu di lakukan di lahan terdegradasi yng tatkala ini pengusaha tak tahu bagaimana peta serta regulasinya. Ataupun kalau ada perusahaan sawit yng bertambah lahannya, mampu jadi itu lantaran perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.Pernyataan Gapki itu sekalian menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transformasi bagi atau bisa juga dikatakan untuk Keadilan (TuK) Indonesia yng menyebutkan bahwasanya ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520.000 hektare (ha) per tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia cuma 7,4 juta ha, akan tetapi pada 2013 telah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi berlangsung di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Sedang, Kalimantan Barat, serta Kalimantan Timur.
Di sisi lain, penelitian TuK pula menyebutkan, dari total lahan sawit yng ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% ataupun 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup bisnis milik 29 taipan yang telah di sebutkan masih mempunyai dua juta ha lahan yng belum ditanami (land bank). Yang dengannya begitu, 25 grup bisnis itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air ataupun 51% dari total areal tanam perkebunan sawit tatkala ini. (Investor Daily; Edisi Jumat, 13 Februari 2015).
Pendapat dari Tofan Mahdi, mampu jadi penelitian TuK Indonesia tak memasukkan asumsi perihal adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam serta lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium yang telah di sebutkan membuat tak ada ekspansi lahan yng di lakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia?” ungkap Tofan.
Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok bisnis, Gapki menilai TuK Indonesia cuma mengambil dari laporan keuangan perusahaan, lebih-lebih yng telah terbuka (Tbk). Dalam catatan Gapki, tatkala ini ada 3.600 perusahaan sawit serta 700 perusahaan di antaranya yng menjadi anggota Gapki. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 25 kelompok perusahaan itu data dari mana? Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.
Gapki menyatakan bahwasanya dari total kebun sawit di Tanah Air seluas sembilan juta ha, seluas 35% di antaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN serta PT RNI), lantas seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, salah satunya asing, serta 40% lain-lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.
Dia pula mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yng menyatakan bahwasanya perkebunan sawit sudah merampas lahan warga atau juga bisa dikatakan masyarakat pula tak benar. Perusahaan sawit di Indonesia biasanya sudah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yng baik yang dengannya mengantungi sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yng bersifat sukarela serta ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yng bersifat mandatori. “Kalau melakukan itu (perampasan lahan) tentu tidak akan mendapat sertifikat karena sertifikat ini bersifat legal yang membuktikan perusahaan sawit memnuhi standar yang berlaku,” kata dia.
Penulis: Tri Listiyarini/PCN

Sumber rujukan dan gambar : http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2015/02/kerugian-potensial-industri-sawit-capai.html.

Seputar Kerugian Potensial Industri Sawit Hingga Rp 127 Triliun

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Kerugian Potensial Industri Sawit Hingga Rp 127 Triliun